JAKARTA (U&A.com) – Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah berhasil mengumpulkan Rp 12,5 triliun atas barang basil tegahan yang berasal dari 14.000 tindakan sepanjang Januari-Juli 2021.
“Nilai barang tegahan tersebut naik dua kali lipat dibandingkan realisasi tahun 2020. Adapun dari jumlah barang tegahan tersebut paling banyak berasal dari rokok ilegal yakni mencapai 41%,” ujar Askolani, Direktur Jenderal (Dirjen) Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), saat Konferensi Pers, Kamis (26/8).
Kemudian, 7% dari total barang tegahan itu berasal dari minuman keras (miras), narkoba 7%, dan kendaraan 6%. Sisanya berasal dari barang-barang ilegal lainnya seperti tekstil, obat-obatan, kendaraan darat, mesin, dan lain-lain.
“Tentunya tendensi akan menjadi basis kami dari sisi kepabeanan dan cukai. Lonjakan ini memang tantangan yang dihadapi kami di lapangan meningkat. Itulah mengapa penegahan lebih tinggi,” ujar Askolani.
Di sisi lain, besarnya barang tegahan dari rokok ilegal sejalan dengan tingkat peredaran rokok ilegal pada tahun 2020 mencapai 4,86%.Otoritas mengklaim kondisi tersebut dikarenakan rata-rata tarif cukai rokok tahun 2020 yang mencapai 23,5%.
Padahal, pada tahun 2019 jumlah peredaran rokok ilegal mampu mencapai 3,03%, atau hampir mendekati target otoritas selama ini di bawah 3%.
Namun, memang pada 2019 saat periode Pemilihan Presiden (Pilpres) berlangsung, pemerintah memilih untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok.
“Kita terus melakukan untuk mengurangi seminimal mungkin, maka harapan kita bisa menekan rokok ilegal di bawah 3%. Tentunya kita coba membina dan memindahkan dari ilegal menjadi legal sehingga bisa meningkatkan penerimaan cukai,” ujar dia.
Operasi Gempur
Sebagai upaya untuk meningkatkan pengawasan terhadap barang kena cukai (BKC) ilegal, Bea Cukai kembali mengadakan operasi gempur periode tahun 2021. Program ini dilaksanakan oleh seluruh satuan kerja (satker) vertikal Bea Cukai secara serentak dan terpadu yang telah dilaksanakan sejak tahun 2017.
Pada tahun 2020 lalu, tingkat peredaran rokok ilegal di Indonesia berdasarkan survei rokok ilegal yang dilakukan P2EB UGM sebesar 4,86%. Upaya menurunkan rokok ilegal kemudian merupakan arahan Menteri Keuangan agar tingkat peredaran rokok ilegal dapat ditekan hingga angka 3%.
Askolani mengatakan, dengan adanya operasi yang dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia akan menghilangkan adanya kemungkinan balloon effect yang terjadi, sehingga BKC ilegal tidak lagi beredar di seluruh Indonesia. Extra effort pengawasan telah terbukti dapat menekan peredaran rokok ilegal.
Askolani melanjutkan, hal tersebut dibuktikan dengan tingkat peredarannya pada tahun 2020 yang hanya 4,86%, lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Universitas Brawijaya (Desember 2019) yang memprediksi bahwa kenaikan tarif cukai hasil tembakau pada 2020 dapat meningkatkan peredaran rokok ilegal menjadi 8% dan berdasarkan analisis kurva Laffer yang memproyeksi peredaran rokok ilegal naik jadi 6,6%.
Menurutnya, apabila pasar rokok ilegal berhasil ditekan, maka diharapkan rokok legal akan mengisi pasar tersebut, sehingga penerimaan cukai akan optimal. Berdasarkan penelitian Universitas Brawijaya peningkatan intensitas pengawasan berdampak terhadap penurunan peredaran rokok ilegal sebesar 29%.
Sementara itu, berdasarkan data penindakan Bea Cukai secara nasional, terjadi peningkatan terhadap intensitas dan kualitas penindakan, serta kinerja pengawasan Bea Cukai juga berdampak pada kepatuhan pengusaha industri hasil tembakau sehingga mampu menekan peredaran rokok ilegal.
Setali tiga uang, menurunnya rokok ilegal berkontribusi terhadap peningkatan penerimaan. Sejak lima tahun terakhir, penerimaan cukai hasil tembakau selalu melampaui target, mulai dari tahun 2016 dengan penerimaan cukai hasil tembakau sebesar Rp 138 triliun hingga tahun 2020 dengan penerimaan sebesar Rp 176 triliun. (kontan.co.id/hh)