KARIMUN (U&A.com) – Paguyuban Warga Pasundan (PWP) Kabupaten Karimun mengungkapkan makna HUT ke-77 Kemerdekaan RI melaksanakan giat “Ngaliwet Bareng Sepanjang 17 M” di kawasan Coastal Area, Minggu (28/8/2022).
“Ngaliwet adalah konsep makan bersama-sama yang dikemas menggunakan alas daun pisang serta olahan nasi dan lauk pauk khas sunda seperti sayur asem, ayam goreng, daging empal/gepuk, sambal dan aneka lalapan. Ngaliwet ini sampai sekarang masih sering dilakukan di daerah sebagai ajang silaturahim antar saudara dan kerabat,” ucap Teddy Setiawan, ST. Ketua Paguyuban Warga Pasundan (PWP) Kabupaten Karimun.
Ia menjelaskan, “Kenapa giatnya Ngaliwet ? Ngaliwet ini mempunyai filosofi terbentuknya rasa persaudaraan saat memakannya.
Hal ini berkenaan dengan cara memakannya berdasarkan kebiasaan dari masyarakat Sunda yg akan menyediakan daun pisang yang panjang dan lebar untuk mewadahi nasinya setelah matang dan menyantapnya secara bersama-sama sambil duduk bersila.
“Begitupun para pejuang kita secara bahu membahu dan dengan tekad persaudaraan yang tinggi memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Giat dihadiri kurang lebih sekitar 150 orang warga PWP Kabupaten Karimun dari orang tua dewasa dan anak-anak,” kata Teddy.
Teddy juga mengucap rasa syukur karena kegiatan Ngaliwet ini berjalan sesuai dengan rencana. “Alhamdulillah kegiatan hari ini bisa terlaksana dengan baik dimana cuaca cerah tidak turun hujan dan diselingi dengan angin yg berhembus dengan sepoi sehingga giat dapat dilaksanakan dengan nyaman. IsyaAllah dengan kegiatan ini, kita juga menghimbau kepada warga Pasundan yang belum bergabung untuk bisa bergabung,” ucap Teddy.
Dikutip dari travelingyuk.com, Ngaliwet merupakan istilah dalam bahasa Sunda yang berarti memasak nasi dengan cara yang berbeda. Biasanya tradisi tersebut dilakukan saat sedang bepergian ke sebuah tempat yang jauh dari tempat tinggal.
Perbedaan antara ngaliwet dengan memasak nasi biasa adalah adanya pemberian beberapa bumbu tambahan yang makin menambah cita rasa gurih nan lezat.
Di balik tampilannya yang menggugah selera, ternyata tradisi ngaliwet memiliki cerita unik di dalamnya. Berikut ulasan selengkapnya.
Bekal saat Berladang
Menurut Prof Murdijati Gardjito, seorang ahli kuliner Universitas Gadjah Mada, pada awalnya tradisi ngaliwet merupakan upaya penghematan masyarakat Sunda di Jawa Barat yang mayoritas bekerja sebagai penggarap ladang.
Dahulu mereka terbiasa membuat makanan yang cukup banyak, dengan beberapa tambahan lauk agar bisa dimakan ketika berada jauh dari tempat tinggal, tanpa harus memasak atau mencari keluar ladang.
“Karena orang zaman dulu yang tinggal di tanah sunda menempuh perjalanan jauh menuju ladang atau kebun, maka nasi liwet ini adalah menu bekal makan untuk menghemat, yang nasinya disajikan bersamaan dengan lauknya dalam satu wadah, sehingga bisa awet dari pagi hingga siang, dan tinggal menghangatkannya menggunakan ketel,” jelasnya seperti dikutip dari ilmubudaya.com.
Merekatkan Persaudaraan
Selain itu, terdapat makna lain dari tradisi ngaliwet, yakni terbentuknya rasa persaudaraan saat memakannya. Hal ini berkenaan dengan cara memakannya berdasarkan kebiasaan dari masyarakat Sunda.
Mereka akan menyediakan daun pisang yang panjang dan lebar untuk mewadahi nasinya setelah matang dan menyantapnya secara bersama-sama sambil duduk bersila.
Memanfaatkan Alam Sekitar
Cara memasak nasi liwet pun terbilang sederhana. Di saat dahulu rice cooker masih belum ditemukan, masyarakat Sunda terbiasa memasak nasi bercita rasa gurih tersebut dengan memanfaatkan alam sekitar.
Biasanya mereka akan memasaknya dengan castol, atau ketel tertutup yang akan digantungkan di atas kayu. Kemudian memanaskannya di atas tumpukan kayu-kayu kering, ranting pohon, atau dibakar menggunakan api unggun.
Di dapur-dapur rumah mereka, biasanya nasi liwet akan dimasak di atas kompor tanah liat tradisional bernama ‘hawu’ dengan menggunakan kayu bakar. (hj)